PROPORSI KONSUMSI SAGU SEBAGAI BAHAN
PANGAN UTAMA DI KOTA KENDARI

Oleh

Muhammad Aswar Limi, S.Pi., M.Si dan Hesty Sukma Dewi, SP., M.Si

Tanaman sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang penting kedudukannya sebagai bahan makanan sesudah padi, jagung, dan umbi-umbian. Sagu dapat dikembangkan menjadi pangan nasional yang dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan.
Di Indonesia, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan sagu, pada umumnya masyarakat setempat baru memanfaatkan pati sagu sebagai bahan pangan tradisional seperti papeda, sinoli, bagea, dan lain-lain yang diproduksi dalam skala industri kecil. Dari hasil penelitian bahwa konsumen sagu tidak akan kekurangan protein karena adanya sumber protein dari makanan lain yang dikonsumsi bersama sagu.
Bahkan di Jawa Barat penduduk hanya memanfaatkan daunnya sebagai bahan atap. Dalam perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pati sagu dengan sifat fisis dan kimia yang dimilikinya dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan pangan tardisional, tetapi juga dijadikan bahan baku untuk berbagai macam industri modern, baik industri pangan maupun non pangan, yaitu subtitusi dari penggunaan tepung lain yang selama ini banyak dipenuhi dari kegiatan import. Bahkan hasil ikutan atau limbah yang dihasilkan dario proses pengolahan sagu dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperaluan.
Sebagai bahan pangan alternatif, sagu merupakan sumber karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka mengurangi beban pangan pada beras. Selain itu, sagu juga perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar, namun belum diupayakan secara maksimal.
Konsumsi sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor namun ada faktor yang mendasar yang mempengaruhi permintaan tersebut yaitu selera konsumen yang merupakan suatu konsep yang meliputi beberapa faktor permintaan seperti faktor sosial ekonomi, faktor-faktor non demografi, faktor-faktor keuangan dan lama tinggal. Pada umumnya selera dapat berubah dari waktu ke waktu namun perubahan itu cenderung stabil dalam jangka pendek. Selain itu suku bangsa juga dapat mempengaruhi pola konsumsi sagu. Suku bangsa seseorang akan banyak mempengaruhi kebiasaan makan dan jenis bahan makanan yang disukai orang. Keluarga-keluarga yang berasal dari suku bangsa dimana sagu merupakan bahan makanan pokok, diduga akan lebih menyukai sagu dibanding keluarga-keluarga yang berasal dari suku bangsa dimana sagu tidak disajikan sebagai makanan pokok (Padangaran, 1993)
Komoditas Sagu
Sagu (Metroxylon sp) adalah termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga palmae. Terdapat lima marga palma yang zat tepungnya telah banyak dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Coripha, Euglissuna, dan Caryota. (Ruddle et al. 1976 dalam Taridala, 1999).
Sagu di Indonesia tumbuh dan berkembang biak dengan alamiah belum dibudidayakan secara intensif seperti tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu dapat dikembangkan baik melalui biji (generatif) maupun secara vegetatif melalui anakan yang tumbuh dalam bentuk tunas pada pangkal batang sagu. Oleh karena itu tegakan sagu di daerah-daerah sagu tumbuh dalam keadaan rapat berututan (Rasyad, dkk. 1982)
Usaha budidaya sagu secara konvensional lebih tepat disebut sebagai eksploitasi hutan sagu, sebab upaya pemulihan populasi sagu yang dipanen pada satu satuan luas hutan sagu masih sangat kecil. Usaha-usaha yang dilakukan seperti penjarangan tegakan pembersihan lingkungan tanaman dan penanaman kembali anakan sagu telah dilakukan di beberapa tempat di Indonesia termasuh di Sulawesi Tenggara, tetapi masih sangat sederhana. Di Irian Jaya, daerah-daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk terdapat rumpun-rumpun sagu yang ditanam.
Sagu merupakan salah satu tanaman pangan yang dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia. Sebagai penghasil tepung, peranan sagu untuk mengisi kebutuhan pangan tidak diragukan lagi, banhkan dapat diolah menjadi beberapa jenis makanan yang tersedia di pasar lokal maupun regional. Sagu juga telah lama dikenal di indonesia, namun dalam pembudidayaannya menggunakan cara-cara tradisional dan bahkan sagu masih tumbuh secara liar atau alamiah.
Selain sebagai bahan pangan, sagu dapat dugunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri pangan, industri perekat, industri kosmetika, dan berbagai macam industri kimia. Dengan demikian, pemanfaatan dan pendayagunaan sagu dapat menunjang berbagai macam industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri berteknologi tinggi. Tepung sgu mempunyai kdar gizi, terutama pada pritein dan vitamin tetapi merupakan sumber kalori yang tinggi sesuai dengan kadar karbohidratnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Pemanfaatan Sagu
Studi tentang pemanfaatan sagu dalam hidangan yang dilakukan oleh Sukarni dan Karsin dalam Taridala (1999) di Maluku menemukan bahwa terdapat tiga jeni makanan dari sagu yang digunakan sebagai makanan pokok yaitu, Papeda, Sinoli, Sagu Lempeng. Selain itu sebagai bahan baku untuk pembuatan jajanan, seperti talam manis, ongol-ongol, talam asin, sagu kenari, sagu kenari kelapa, bubur mutiara, bubur sagu, sagu kuku, sagu manis, dan kue pisang. Hasil lainnya adalah (1) makanan jajan yang paling disukai adalah bubur mutiara dan (2) dalam mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok tersebut, kombinasi hidangan yang paling disukai adalah papeda dengan rica-rica ayam, sinole dengan asam-asam ayam dan sagu lempeng dengan rica-rica daging dan ayam bakar.
Sagu Sebagai Bahan Pangan Alternatif
Dalam repelita VI, pemerintah masih tetap menempatkan diversiasi pangan sebagai salah satu kebijaksanaan dari program pembangunan pangan. Kebijaksanaan meningkatkan diversiasi pangan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya. Kegiatan yang tercakup dalam program diversifikasi pangan ini antara lain adalah meningkatkan produksi berbagai bahan pangan sumber karbohidrat lainnya. Untuk menunjang keberhasilan program ini maka salah satu sumber karbohidrat yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah sagu, di mana tidak memerlukan budidaya pemeliharaan yang intensif (Rusmandi, 1996).
Pola Konsumsi dan Kebiasaan Makanan
Yang dimaksud pola konsumsi pangan di sini adalah komposisi distribusi energi dan masing-masing kelompok pangan yang dikonsumsi penduduk, mencakup padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, kacang-kacangan, buah/biji berminyak, gula serta sayur dan buah.
Pola makan bangsa Indonesia mengenai makan pokok beras, jagung, ubi kayu, dan sagu beragam dari suatu daerah ke daerah lain tetapi mempunyai kesamaan yaitu semuanya dipilih karena banyk mengandung zat tepung. Bahan makanan pokok dari hasil padi-padian (beras, jagung, dan sebagainya) dibandingkan dengan ubi atau sagu mempunyai kelebihan karena kandungan protein lebih tinggi (handayani, 1992). Untuk masa yang akan datang diharapkan struktur pangan masyarakat Indoensia berubah di mana beras tidak lagi menjadi bahan makanan pokok utama lagi. Selain itu penyajian makanan juga terkait dengan makan pokok (BPTP, 1992).
Konsep permintaan
Pengertian permintaan sering disalah artikan oleh pelaku-pelaku ekonomi,sehingga sering menyimpang dari pengertian sebenanrnya sesuai dengan nilai ekonomi. Dalam pengertian sehari-hari, permintaan sering diartkan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan (absolut). Pngertian ini bisa muncul karena adanya pernyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari m anusia membutuhkan barang atau jasa untuk kelangsungan hidupnya (Sudarsono, 1988). Akan tetapi menurut istilah ilmu ekonomi yang ditulis oleh Papas dan Hirschey (1995), permintaan mengarah pada jumlah produk yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen berdasarkan sekelompok kondisi tertentu. Dalam hal ini dimana kenutuhan dan keinginan adalajh komponen yang diperlukan tetapi harus disertai oleh kemampuan keuangan sebelum permintaan itu tercipta.
Winardi dalam Soekartawi (1993) juga menjelaskan bahwa permintaan adalah jumlah barang yang berlaku pada saat itu. Dengan kata lain permintaan akan mempunyai arti bila didukung oleh daya beli konsumen. Permintaan yang didukung oleh daya beli kondumnen disebut permintaan relatif. Sedangkan permintaan yang tidak didukung oleh daya beli konsumen disebut sebagai permintaan absolut atau permintaan potensial.
Di dalam menganalisis permintaan, juga sering disamakan antara istilah permintaan dan jumlah yang diminta, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan. Ahli ekonomi mengatakan permintaan menggambarkan keadaan keseluruhan dari pada hubungan antara harga dan jumlah permintaan. Sedangkan jumlah diminta dimaksudkan sebagai permintaan pada suatu timgkat harga tertentu (Pendick dan Rubinfield, 1999). Pada dasarnya teori permintaan menerangkan hubungan diantara jumlah permintaan dan harga.
Individu atau perseorangan dalam masyarakat disebut sebagai konsumen tetapi dalam kehidupan sehari-hari sebagai besar individu tersebut terkumpul dalam suatu rumah tangga. Biasanya oleh konsumsi dan permintaan rumah tangga lebih jelas terlihat dibandingkan dengan permintaan individu. Sehingga sudah sewajarnya kalau pengertian kosumen mencakup individu maupun rumah tangga (Lipsey, 1999)
Dalam menganalisis suatu permintaan yang paling penting adalah mengetahui sampai dimana responsisfnya perubahan permintaan sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor penentu permintaan atau biasa disebut dengan istilah elastisitas permintaan. Elastisitas permintaan dapat dibedakan kedalam tiga konsep, yaitu elastisitas permintaan harga, elastisitas pendapatan dan elastisitas silang permintaan. Analisis terhadap elastisitas permintaan bermanfaat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan harga atau perubahan pendapatan terhadap perubahan permintaan. Dengan mengetahui besarnya elastisitas, maka dapat diramalkan perubahan yang akan terjadi di pasar (yaitu bagaimana harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan berubah) apabila terjadi perubahan penawaran, sehingga produsen atau penjualan dapat menentukan apakah perlu menaikan produksi atau tidak untuk menaikan hasil penjualan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan
Menurut Sukirno (1994) permintaan seseorang atau masyarakat atas suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah yang dinyatakan dibawah ini :
1. Harga barang itu sendiri
2. Harga barang lain (barang subtitusi dan komplementer)
3. Pendapatan rumah tangga
4. Distribusi pendapatan
5. Cita rasa atau selera masyarakat
6. Jumlah penduduk
7. Ramalan mengenai masa yang akan datang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar